Sabtu, 17 September 2011

Cerpen



SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul sembilan pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-detik kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa waktu yang berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba merasakan segala suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar mandi.
Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannnya sendiri, hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia memotong kuku, mencukur cambang, dan merapikan kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman-temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih ganteng bila berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia menyisir rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut hingga tampak klimis, mengenakan pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak wangi. Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi yang berlebihan.
Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot menyiapkan tali, dan menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-orang mesti memunguti tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu merasa cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.
Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersijengkat mendekatinya perlahan.
Ia merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut. Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang ditumpahkan ke lantai, terasa kental. Cahaya yang terlihat begitu jernih dan bening membuat semua benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan meja kayu yang sudah ia bersihkan makin terlihat kecoklatan dan begitu detail alur serat kayunya. Barut tipis bekas paku pada cermin, nampak jelas. Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya yang coklat tampak lebih cerah. Detak jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat dan menenangkan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat kematian makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat. Seperti ada yang memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin membisikkan penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan. Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu dalam hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan sempurna. Mati, barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana rasanya mati.
Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada tukang kebun yang sudah menunggunya dengan sabar.
“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…”
Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.
2.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun sembari memandangi jenazah yang terbaring tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam mati pun laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.
Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar di rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan tinggal di sini untuk menanti kematian. Di sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu – menganggap laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar. Kematian memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan hidup lama. Tidak, katanya, saya akan mati. Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil menatap wajah tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba saja merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati. Karena itulah, dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk menjaga kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di sini bukan tempat yang pantas untuk mati, Nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat lain. Mati di kamar hotel yang sejuk pasti jauh lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas buat kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan yang sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan kematian saya sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki dalam hidup. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan di mana dan bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya dengan tenang. Menyambutnya dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan tenang di sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat tukang kebun itu terpesona dan mempercayai kata-katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu banyak orang yang terlihat aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar sebentar kemudian pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang paling aneh dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan persis kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia pelan-pelan menutup jenazah laki-laki itu dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih membahagiakan selain mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati seperti laki-laki ini. Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan biasa dan sederhana.
3.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu bercerita tentang seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan bahagia, tadi pagi.
“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik ketika ia perlahan-lahan mati,” tukang kebun itu bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya yang perlahan jadi lanum. Seperti ada yang perlahan mendekat, seperti langkah-langkah ringan yang melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di mana laki-laki itu berbaring tenang. Aku bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan ia tersenyum. Pada detik itulah aku merasakan ada cahaya kelabu lembut, yang lebih tipis dari kabut, melayang terbang mengelangut serupa senandung maut…”
Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita tukang kebun itu.
Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu terdengar gemetar dan hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku selalu cemas karena tak pernah tahu kapan.”
Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura abai pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu terkenang pada cerita yang sering kau kisahkan perihal seseorang, yang pernah menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian memilih hidup menyendiri untuk menanti mati. Biasanya, sahabatmu begitu betah menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang dituturkan tukang kebun itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu denganmu.
4.
KAU hanya terdiam, saat sabahatmu bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia pagi tadi, tepat jam sembilan pagi.”
Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu akan bertukar kelakar sembari bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu. Bertahun-tahun menjadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa kematian terasa lebih menakutkan ketika dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa dengan ketakutan seperti itu. Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di udara. Bau yang sepertinya sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu membayangkan bau itu seperti jejak – atau tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang melekat di lantai dan tembok dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-mana, membuatmu seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak tersesat. Kau bisa mencium bau kematian itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu pasti kapan kematian akan menjemputmu. Kau hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu menakutkan. Mencemaskan. Tapi juga selalu membuatmu penasaran.
Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan akhirnya diterima – jadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga malam, karna kau percaya kematian akan jauh lebih terasa pada malam hari. Seperti tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau jadi seperti bisa meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat. Memandanginya lama-lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih tersimpan di bawah kulit. Sering kau merasakan denyut lembut yang masih terasa merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu menceritakan kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah kenapa. Yang pasti bukan karena kehilangan. Kau hanya merasa betapa menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri. Karena itu, kau pun dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan aku mati. Kau merasa iri, karena aku kau anggap telah mampu memecahkan teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku selalu menginginkan kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan kau pun mencoba membayangkan kelopak mataku yang tampak rapuh ketika perlahan terkatup. Kau bayangkan sisa redup cahaya terakhir yang melekat di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin sekali bertanya, bagaimana mengetahui kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan begitu tenang. Begitu bahagia.
Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam sembilan pagi tadi.
Yogyakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar